Di balik layar Kelas Inspirasi Toraja 2019

Sementara kita bekerja di dalam pusat Lingkaran Pengaruh, kita juga harus Meluaskan Lingkaran tersebut ke luar.

Adalah seorang anak, lahir dan besar di desa. Kesukaannya adalah memandangi langit. Cita-cita kecilnya tercipta dari sebuah imaji sore hari kala itu, dipendam dalam-dalam di dalam hati.

Bertahun-tahun setelah sore itu, saat ia baru saja menyelesaikan meeting di sebuah gedung berlantai 4 dengan pemandangan senja yang teramat indah, ia terharu mendapat kabar bahwa di kampung halamannya telah terbuka jalan untuk menuju cita-cita kecilnya sebelum ia mengenal sekolah.

Dalam perjalanannya, ternyata tidak mudah menyatukan persepsi. Wajar. Karena manusia cenderung punya persepsi dan sudut pandang masing-masing. Tak semua hal harus sama dan selaras dari awal, tapi jika ada satu orang yang berani berkorban untuk perbaikan maka semua kekhawatiran akan runtuh pada akhirnya.

Anak itu bertemu dengan orang yang tepat. Orang itu jugalah yang berani mengorbankan banyak hal untuk misi besar ini. Mereka pun kemudian berteman.
Tak banyak yang tahu bagaimana sulitnya berada di posisi sang teman. Seorang diri ke sana ke mari, diberi janji untuk bekerja bersama-sama lalu ditinggalkan.
Dalam prosesnya, kabar sedih hadir dalam keluarga temannya tersebut. Bapaknya dipanggil oleh yang Kuasa. Tuhan yang memberi, Tuhan pulah yang mengambil. Terpujilah nama-Nya.
Tuhan sungguh baik, memberikan hati yang lapang dan kuat untuknya dan keluarga.

Hari itu, segala persiapan dimatangkan. Parahnya, mereka berdua terlalu mementingkan tim lain untuk dapat tiba dengan selamat di tempat peraduan sementaranya di suatu tempat di pelosok daerah yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan tim mereka berdua entah ada di mana rimbanya.

Mungkin lebih baik jika hubungan dua orang ini disebut dengan kata sahabat saja. Walaupun baru benar-benar hari kemarin mereka bersua langsung.
Sore hari, dengan mengendarai motor matic mereka berjalan menuju lokasi yang tak ada sinyal, dengan beribu doa dalam hati semoga tidak turun hujan yang dapat menghalangi perjalan panjang ke lokasi bernama Masanda.

Apa daya, perjalanan membutuhkan waktu berjam-jam untuk dapat sampai di Masanda. Pada seperempat perjalanan, hujan turun sederas-derasnya. Mantel beralih fungsi jadi pelindung barang bawaan yang teramat berat. Seandainya tidak berpegangan kuat, maka siap-siaplah untuk rebah ke belakang.
Tahukah kamu rasanya berada di situasi ini?
Sungguh campur aduk.

Menepi ke sebuah rumah yang baru saja menyelamatkan jemuran padi dan kopinya dari jangkauan hujan. Maaf bu, kami menumpang berteduh. Ibu dan si anak baik sekali (semoga selalu diberkati Tuhan). Beberapa motor singgah di tempat ini juga, sayangnya mereka semua dengan segera mengisap rokok (mungkin hal ini menjadi sebuah kebiasaan ketika merasakan dingin). Asap mengepul ke udara. Ketenangan hati sungguh terusik tapi tak sanggup mengungkapkannya :(

Lantunan doa terus terpanjatkan. Diskusi dua anak muda di pojokan luar tak pernah putus, berbicara sedikit lebih panjang tentang seberkas lilin pendidikan yang sedari awal tak putus dibicarakan walau dari jarak jauh. Toraja - Makassar.
Dua jam berlalu, tapi langit tak henti menangis. Sambil melirik putaran jarum jam di pergelangan tangan, sang teman bergumam lirih "sekarang sudah pukul 17.00, kita berangkat saja.
Oke, kita berangkat (sesungguhnya khawatir menyelimuti relung jiwa ini). Bagaimana tidak? jalanan terlalu licin, jas hujan sudah beralih fungsi, hari sudah mulai gelap, Ibu guru yang menunggu kami apa kabar ya? dari tadi tidak bisa dihubungi. Ya walaupun kami sudah tahu bahwa lokasi tujuan kami tidak ada sinyal, itu berarti sang ibu gurunya memang tidak bakal tersambung jaringan telepon tapi biarlah, toh tadi sudah kukatakan kan kalau rasanya benar-benar campur aduk di situasi ini.

Dalam perjalanan diguyur rintik hujan ini, hening menyelimuti. Sekitar 30 menit melaju dan dengan segala pertimbangan kami putar arah.
Terlalu beresiko untuk meneruskan perjalanan ini, hari sudah gelap, hujan tak mau berhenti, tak baik jika dua perempuan berjalan dalam kegelapan melewati hutan di kanan kiri jalan, menembus hujan malam hari.

Rupahnya semesta mendengar bisik-bisik doa kami, di sekitar kami putar arah, ada rumah kakek dan tante sang teman yang dengan penuh kemurahan hati menyambut kami. Setelah ganti baju, kami mengeluarkan barang-barang bawaan lalu mulai menggunting alat peraga yang menurut rencana awal pekerjaan ini dilakukan di rumah inap dekat sekolah bersama teman-teman serombel. 

Sementara aku sibuk melakukan aktivitas menggunting, temanku ini tak henti-hentinya menanyakan kabar seluruh tim di penginapan masing-masing. Sungguh dia seorang pemimpin yang sangat perhatian walau dia sendiri tak dapat menggambarkan bagaimana bergejolaknya hati kami berdua yang terjebak di awal perjalanan ini.
Selesai menelpon, kutanyakan bagaimana kondisi seluruh tim. Katanya "mereka aman terkendali. Beberapa saat yang lalu mereka sudah makan malam dengan menu daging ayam kampung, dimasakkan oleh tuan rumah tempat nginap dan sekarang siap-siap untuk istirahat demi mengumpulkan tenaga bangun subuh, tak sabar ketemu anak-anak di sekolah". Syukurlah.

Sesaat kami diam lalu tertawa. Bukan apa-apa, aku mengerti kami hanya menertawakan diri sendiri dalam kondisi tak karuan ini.
Tunggu..., aroma dari sebelah dapur mengundang perutku untuk diisi. Berbahagialah kami. Yeaayyy...
Tante dan om di rumah ini menjamu kami sedemikian baiknya sampai harus dimasakkan daging ayam juga. Rupanya Om di rumah ini baru pulang dari kebun karena sejak tadi aku tidak melihatnya. Sungguh aku terharu ada di situasi ini. Tuhan tak henti-hentinya menghadirkan Kasih Setia-Nya.
Doa makan pun mengalir dengan sangat indah dari sang kakek. Dari bait-bait doanya aku menebak-nebak semasa mudanya beliau adalah Hamba Tuhan yang aktif melayani umat-Nya.

Malam itu setelah menyetel alarm pukul 04.00 Wita, kami mencoba berbaring dibalut selimut menghidari dinginnya malam kampung Rembon. Subuhnya kami pamit. Aku berjanji dalam hati, suatu saat aku harus kembali mengunjungi keluarga di tempat ini. Semoga mereka selalu sehat dan diberikan kesempatan untuk bersua kembali. Amin

Pukul 04.00 subuh perjalanan kami kembali dimulai. Menelusuri jalan sepi ditemani dingin yang teramat menusuk hingga tulang-tulang. Sering sekali aku menanyakan berapa lama lagi kami akan sampai, sekarang di daerah apa? masih jauh atau sudah dekat. Mungkin yang bawa motor sudah bosan, tapi biarlah.
Di tengah perjalanan aku melupakan segala pertanyaan itu ketika kami memasuki kampung yang di mana-mana berkeliaran anjing-anjing galak. Setelah lama berspekulasi dalam hati mengenai anjing-anjing itu, aku dibuat kaget dan benar-benar berteriak (ya walau teriakanku tak akan senyaring teriakanmu) karena di kejar anjing. Kau bisa bayangkan bagaimana gaya kakiku di atas motor saat itu menghindari anjing sementara beban dipundakku lebih berat dariku, salah sedikit jatuh kebelakang. Anjingnya terlalu cepat berlari. Dua kali dikejar anjing dalam perjalanan ini. Semoga itu cukup. Biarkan kami sampai dengan selamat sebelum kegiatan di sekolah di mulai.

Setelah beberapa lama motor melaju dan napas sudah kembali teratur dari kejaran anjing, kata temanku kami saat itu sudah masuk di Bittuang. Kujawab oke saja, padahal aku tak paham apakah ini pertanda sudah dekat?

Saat itu masih gelap, mungkin sekitar pukul 05.00 atau mungkin pukul 5 lewat. Motor melaju sangat kencang (ya mumpung jalanan sepi dan kami terlampau buruh-buruh). Tak pernah kami bayangkan di tengah jalan ada batu besar yang membuat motor terbang dan jatuh perlahan. Beruntungnya jatuhnya baik-baik dibarengi teriakan kami berdua yang membuat warga di situ keluar dari rumah masing-masing.
Tak banyak bicara, kami langung berangkat lagi. Di tengah jalan aku baru sadar bahwa sedari tadi kami tidak minum air (biasanya aku melihat jika ada kejadian seperti itu dianjurkan untuk duduk dulu atau minimal minum air putih). Tapi saat itu tidak ada ritual itu. Masing-masing dari kami mungkin paham bahwa tak banyak waktu yang kami punya. Perjalanan masih jauh walau aku hanya merabah-rabah.

Hingga tibahlah kami di perbatasan. Di tempat itu jugalah sinyal terakhir yang kami temui. Di tempat itu baru merasa merinding dan kaget akan kejadian tadi tapi kusimpan saja dalam hati. Di sini, kami singgah berfoto ria. Walau hasilnya cumala (kata terakhir sila cari sendiri artinya). Sembari aku mengecek hp yang ternyata lowbat, kuurungkan niatku membuka pesan whatsApp yang terlalu banyak. Kumatikan hape itu dan kutaro dalam tas, aku berharap baterainya masih bertahan sampai opening nanti di sekolah agar dapat memutar lagu untuk dinyanyikan bersama anak-anak mengingat di sekolah tak ada listrik untuk menumpang cas hp

Di sebelah sana, temanku sudah menghubungi teman serombel kami yang katanya sudah berangkat dari Rantepao menggunakan mobil. Baiklah, semoga segera tiba (walau aku tahu pasti akan telat).

Pagi merebak, terlihat anak-anak berseragam sekolah berjalan sambil tertawa. Bahagia sekali kelihatannya.
Umba mi nanai massikola pia (di mana kalian sekolah dek?) kata temanku
di Podingao' jawabnya.
Wah jantungku mulai tak karuan lagi, tapi ini bukan efek dikejar anjing lagi tapi karena kami belum sampai jua dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah tempat kami akan menginspirasi.

Lagi..,dekat dari situ, banyak kerbau liar. Sebelum tiba di tujuan, kami berpapasan dengan kerbau liar bersama seekor anaknya. Sambil membuang napas, dalam hatiku berkata cobaan apalagi ini?
Ketika terbebas dari kerbau itu, kami pun turun dari motor dan menemui Ibu guru yang sedari kemarin ternyata menunggu kami. Kami bertemu dan ya kau pasti tahu bagaimana rasanya menunggu orang yang tak kunjung tiba, bukan? bayangkan bagaimana muka beliau saat menemui kami. Benar-benar tak mengenakkan.

Apa daya, kami mencoba membuang jauh-jauh segala hal negatif di pikiran. Kami masuk dalam rumah dan disuguhkan kopi. (Sejujurnya aku tidak minum kopi. Jika minum, kepalaku akan sangat sakit) tapi apa boleh buat, kami harus menghargai sambutan ini dan menghapus segala rasa bersalah kami. Sungguh hal ini bukanlah yang kami inginkan. Semoga ibunya paham

Saat itu pukul 07.00. Upacara di sekolah di mulai 07.15. Aku menyempatkan untuk mandi. Mohon beri aku waktu 5 menit untuk bersiap-siap. Kugunakan sebaik-baiknya agar tidak terlambat ke sekolah

Aku berdiri di barisan guru-guru saat upacara berlangsung. Sembari menyusun kata-kata jika saja nanti disuruh untuk berbicara.

Hari itu, kami banyak berdiskusi dengan guru-guru. Banyak bercerita dengan anak-anak. Bergotong royong demi terlaksananya kegiatan dengan sebaik-baiknya.

Mataku tak lepas dari tumpukan buku-buku di sebuah pondok yang terletak di samping sekolah. Kutanyakan hal ini pada guru di sana, ternyata itu adalah pondok baca untuk sekolah yang juga digunakan oleh warga untuk membaca buku. Wah menarik sekali ya

Hari itu aku juga mengisi kelas, di sesi terakhir saat penulisan cita-cita, setelah mengarahkan seluruh kelas 4 yang saat itu berakhir di kelasku. Salah seorang anak perempuan datang di dekatku katanya: " jika besar nanti aku ingin menjadi pramugari, kalau kakak cita-citanya apa?" buruh-buruh aku mengeluarkan ID card yang sedari tadi kukalungkan dan menulis sebuah cita-cita di depannya.
'Apa itu?' katanya. Kami mengobrol banyak diikuti teman-temannya yang penasaran dan ikut memegang tanganku sambil diayunkan. Ah bahagia sekali aku hari itu
‐------‐---‐-----------------------------------------------------

Dear teman yang tak pernah kusebutkan namanya di atas,
Terima kasih telah memilih jalan ini dari awal
Terima kasih karena mau belajar
Terima kasih untuk dedikasi yang luar biasa itu
Terima kasih telah menerimaku sebagai teman perjalanan dalam kisah ini
Untuk segala pengalaman ini biarlah menjadi memori yang akan selalu kuingat dalam perjalanan hidup
Terima kasih kak Febe :) God always bless you

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RuBI Toraja: Guru Aktif, Kolaboratif dan Kreatif

Kedelapan yang Pertama

Keluh kesah